Konsolidasi Tanah di Jepang: success story
Berikut adalah
tulisan yang besumber dari buku Sorensen A. 2002. The Making of Urban Japan.
London: Rouledge. Buku ini secara umum berisi tentang sejarah dan perkembangan
kota-kota di Jepang. Konsolidasi Tanah (KT) atau disana disebut Land
Readjustment merupakan kunci utama pengelolaan dan pengembangan kota-kota di
Jepang. Konsolidasi tanah merupakan program menyeluruh yang berawal di wilayah
pertanian yang kemudian bergeser ke perkotaan. Konsolidasi Tanah sangat terkait dengan tanah pertanian sebagai impelementasi nilai-nilai Reforma Agraria.
Indonesia yang lekat dengan permasalahan ego-sektoral, politik praktis, instan,
parsial, serta semakin kapitalis, terasa sulit melaksanakan Konsolidasi Tanah. Jangan sampai menunggu
rusaknya alam, tingginya kesenjangan dan musnahnya nilai-nilai luhur
gotong-royong, musyawarah mufakat dan persatuan Indonesia. Mari kita kelola
sumberdaya tanah kita secara arif dan bijaksana salah satunya melalui
Konsolidasi Tanah.
Konsep konsolidasi tanah |
Konsolidasi
Tanah di Jepang, diselenggarakan oleh pemerintah atau swadaya masyarakat, banyak dilaksanakan
di pinggiran kota.
Pooling land, membangun
fasilitas (jalan dan taman) dan membagi tanah untuk kepentingan pengembangunan kota.
Dua aspek yg diperhatikan: pemilik tanah harus berkontribusi dalam menyumbang tanahnya, biasanya 30%, sebagian
untuk jalan dan taman
dan sisanya dijual untuk pembiayaan untuk perencanaan, desain, pelaksanaan,
konstruksi. Yang kedua terkait dengan projek pemerintah, ini yang umum, dilaksanakan bila minimal 2/3
pemilik tanah dengan kepemilikan tanah minimal 2/3 dari luasan proyek, semua pemilik dapat
dipaksa untuk ikut dan berkontribusi. Hal ini mencegah calo tanah dan hambatan proyek.
Konsolidasi
Tanah
banyak dilaksanakan
untuk tanah pertanian semenjak periode Tokugawa dan berkembang di tahun 1860.
Di tahun 1899, UU Konsolidasi
Tanah Pertanian (Agricultural Land Consolidation Law) disahkan untuk memfasilitasi perbaikan lahan-lahan pertanian melalui
penggabungan persil-persil tanah
yang tersebar dan membangun
sistem irigasi. Peraturan ini mengikuti model jerman. Mulai 1909,
fokus bergeser dari
penataan lahan pertanian menjadi proyek irigasi dan drainase. Konsolidasi tanah juga mulai bergeser ke pinggiran kota untuk pembangunan infrastruktur.
Sawah-sawah hasil konsolidasi tanah (http://globalriskinsights.com) |
Sebelum ada Undang-Undang Perencanaan Kota (City Planning Law)
tahun 1919 sudah terdapat proyek konsolidasi tanah di Nagoya
mencapai 1480 ha. Meski dilaksanakan
di pinggiran kota,
KT dilaksanakan berdasar UU Konsolidasi Tanah Pertanian. Perubahan yang dilaksanakan melalui UU Perencanaan Kota adalah keikutsertaan institusi publik yang sebelumnya hanya individual dan organisasi masyarakat. Hal ini berbeda
sekali dg Jeman dimana pemerintah daerah
sangat berperan penting. KT
sangat berperan di Jepang baik untuk
pengembangan kota maupun peremajaan kota, KT mencapai 30% dari luas wilayah urban di Jepang. KT yang besar dilaksanakan di antaranya
pasca gempa bumi Kanto
1923, setelah Perang Dunia 2, dan terbaru setelah gempa bumi Great Hanshin 1995. KT juga berperan dalam pengembangan perumahan publik skala besar dan pengembangan kota baru setelah 1969. KT disebut sebagai induk dari perencanaan kota “KT
is the mother of town planning”. Selanjutnya
KT didasarkan pada Undang-Undang Konsolidasi Tanah tahun 1954.
Salah satu proyek konsolidasi tanah di Kariya-shi, 1968-1975 (http://www.city.kariya.lg.jp.e.ag.hp.transer.com) |